www.tribratanews.com - Pelajaran dari tahun politik sebelumnya pada Pemilu 2019 lalu, bentuk semburan dusta, atau hoaks merajalela dan hampir saja membelah persatuan bangsa. Bercermin dari kejadian itu, perlu langkah antisipasi agar kejadian yang tidak mengenakan itu terulang kembali.
Diperlukam kesadaran bersama, bahwa kehidupan berbangsa ini harus terus berlangsung selamanya, sedangkan kontestasi politik hanyalah hajatan rutin lima tahunan. Berangkat dari kesadaran itu, maka pilihan jangka pendek jangan sampai menghancurkan kesadaran atas kebersamaan yang sudah lama ada dan perlu komitmen merawat kesinambungannya.
Tantangan kini di era pasca kebenaran (post-truth) dengan perkembangan media digital, membuat cara merawat kebangsaan kita memiliki tantangan berdimensi baru. Propaganda kini tidak hanya milik mereka yang berkepentingan dalam kontestasi Pemilu. Propaganda sudah menjadi industri tersendiri.
Menilik apa yang terjadi dalam Pemilu di Amerika yang memenangkan Donald Trump 2016, banyak ahli komunikasi menyebutnya sebagai keberhasilan propaganda ala Rusia. Propaganda yang merujuk pada aneksasi Rusia atas wilayah Krimea tahun 2014, dimana pesan dalam jumlah besar disiapkan dan disemburkan secara terus-menerus dalam berbagai ragam kanal baik media mainstream maupun media sosial tanpa memperdulikan kebenarannya.
Hal inilah yang kemudian dikenal di dunia sebagai firehose of falsehood atau semburan dusta. Dinamakan semburan dusta, karena pesan disemburkan bukanlah kebenaran dan membuat kebingungan, kecepatan semburan informasi melebihi kesadaran dan daya kritis untuk menangkisnya.
Dalam perang informasi ini, banyaknya pesan yang diputarbalikan demi mencapai tujuan melemahkan lawan, dan membuat ketidakpercayaan kepada pemerintah, ujar penulis terkemuka Amerika Cristoper Paul dan Marriam Mattews.
Intinya dalam perang informasi ini, berbagai cara dilakukan termasuk dengan memanipulasi kebenaran. Manipulasi kebenaran sendiri sudah lama dipraktekan kelompok-kelompok teroris untuk mendoktrin anggota baru, dalil-dalil agama mereka pilah dan pilih hanya yang terkait perlawanan atas kamapanan thogut.
Karena itulah, perlu kesadaran bersama bagi pemerintah, partai politik yang akan berkontestasi, juga penyelenggara pemilu serta aparat keamanan khususnya kepolisian, serta pegiat media massa, bahwa ada ancaman di depan mata, jika kita tidak dapat mengelola agenda demokrasi lima tahunan ini.
Karena bukan tidak mungkin, agenda Pemilu bisa menjadi proxy war dari pihak yang ingin memecah belah persatuan nasional. Karena itu, aparat keamanan khususnya Polri yang termasuk unsur utama Penegakkan Hukum Terpadu (Gakumdu) Pemilu, sedari awal harus mengajak penyelenggara Pemilu dan para kontestan menyepakati hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan menjelang Pemilu terutama menjelang periode kampanye.
Persatuan nasional sebagai syarat kemajuan dan agenda demokrasi Pemilu yang tanpa arah akan membelokan demokrasi menjadi anarki, terutama jika setiap kelompok merasa paling benar sendiri.