Kasus kejahatan kekerasan seksual, bak puncak gunung es. Satu persatu kasusnya mencuat di berbagai tempat, baik di lingkungan kerja, lembaga pendidikan dan di tengah kehidupan masyarakat.
Pengungkapan kejahatan kekerasan seksual, diyakini lebih sedikit jumlahnya ketimbang yang terungkap. Ini karena, kasus ini dianggap aib dan kerap, para korban yang sebagian besar perempuan sering mendapat stigmatisasi buruk.
Menghadapi fenomena seperti ini, Polri barangkali dapat belajar dari pengalaman polisi Manchester, di Inggris saat menangani si predator seksual asal Indonesia.
Untuk mengungkap kejahatan seksual dengan korban mencapai puluhan bahkan ratusan orang, para detektif di Inggris bergerak dalam senyap.
Kasus dengan pelaku Reynhard Sinaga Mahasiswa S3 asal Indonesia itu, nyaris tanpa pemberitaan sebelum masuk ke pengadilan.
Berbeda dengan kasus-kasus serupa di tanah air, kasus yang menarik perhatian publik ini kerap menimbulkan kehebohan, dari media massa dan media sosial yang kerap membuat narasi tersendiri bukan dari sumber resmi seperti polisi.
Kehebohan dari ekspose media kerap tidak menguntungkan dalam menuntaskan kasus-kasus predator seksual. Kehebohan yang muncul dapat membuat adanya korban yang tercecer dan tak terungkap. Glorifikasi media dapat membuat korban takut mengungkap kebenaran yang telah dialaminya.
Terkadang, kejahatan yang sistematis seperti kasus kekerasan seksual, penyidikan Polri perlu teknik khusus salah satunya polisi terus bergerak dalam senyap seperti yang dilakukan polisi Manchester Inggris.
Ini yg selama ini tidak terjadi, di Indonesia, baru ditangkap sudah terekspos sedemikian rupa, sementara dalam proses selanjutnya justru kurang ada pengawalan yang memadai.
Jika pengalaman Polisi Manchester diberlakukan di Indonesia, maka antisipasi segala hal negatif yang muncul dari keriuhan seperti di media sosial maupun di media mainstream bisa diantisipasi dan pengungkapan kasusnya menjadi tuntas.