Tribratanews.tribratanews.com - Jakarta. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengingatkan penyelenggara pilkada, termasuk yang bernaung di bawah Komisi Pemilihan Umum (KPU), mewaspadai kemungkinan penyalahgunaan data orang meninggal untuk memilih pasangan calon tertentu saat pemungutan suara di TPS.
Ketua Bagja menyebut insiden itu pernah terjadi saat Pilkada 2020.
“Di Pilkada 2020, ada orang yang sudah meninggal bisa memilih di TPS (tempat pemungutan suara.). Ada surat suaranya, ada tanda tangan di daftar hadirnya. Jadi, KTP-nya digunakan oleh orang lain, sengaja, karena KTP-nya (foto) sudah buram,” jelas Ketua Bagja, Jumat (28/6/24).
Setelah ada pemeriksaan, ternyata orang yang datanya disalahgunakan itu, meninggal dunia 4 hari sebelum pemungutan suara. Alhasil, Mahkamah Konstitusi pun memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di TPS yang bermasalah tersebut.
Baca Juga: Menko Hadi: Sinergi Polri-TNI Siap Jaga Netralitas Pilkada 2024
“Horor itu. Itu hanya terjadi di Indonesia,” ujar Ketua Bagja.
Demi mencegah hal itu terulang kembali, KPU dan Bawaslu sengaja mengutamakan penduduk yang tinggal di lingkungan TPS sebagai anggota KPPS dan panitia pengawas.
“Itu kenapa petugas KPPS harus penduduk setempat supaya mengenal siapa yang memilih pada saat itu. Ini kemudian wisdom-nya teman-teman KPU dan Bawaslu dalam memilih penyelenggara ad hoc di bawahnya,” ungkap Ketua Bagja.
Pada Pilkada 2020 ada 12 putusan pengadilan terkait pelanggaran memberikan suara lebih dari sekali di satu TPS atau lebih dari satu TPS, dan empat putusan terkait pelanggaran menyuruh orang lain yang tidak berhak memilih memberikan suara di satu TPS atau lebih.
Pelanggaran-pelanggaran itu masuk dalam pelanggaran pidana terkait pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bagja juga mengingatkan ada kemungkinan pelanggaran terkait pemilihan terjadi saat rekapitulasi suara. Dia pun meminta penyelenggara, termasuk pengawas di TPS, mewaspadai suara nol.
“Yang namanya nol dalam rekapitulasi itu besar. Teman-teman polisi, jaksa harus dikasih tahu ini biar bukan cuma joke (candaan, red.) penyelenggara. Jadi nol itu kadang-kadang bisa jadi tuyul. Nol-nya tiba-tiba 100, nol-nya hilang,” ujar Ketua Bagja.
Kemungkinan pengaturan suara itu, kata Ketua Bagja, dapat terjadi pada waktu-waktu rentan, yaitu saat menjelang pagi ketika penyelenggara dan pengawas mulai lelah dan mengantuk.
“Itu terjadi biasanya saat rekapitulasi suara menjelang pagi. Pengawas terkantuk-kantuk, nol-nya hilang. Kemungkinan itu terjadi, dan saksinya sudah tidur misalnya. Kemungkinan-kemungkinan itu terjadi sehingga trennya penyelenggara ad hoc-nya bermasalah,” ungkap Ketua Bagja.
(ndt/pr/nm)