Tribratanews.tribratanews.com - Jakarta. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dan Kepolisian Jepang berhasil mengungkap kasus peretasan kartu kredit dengan melakukan transaksi elektronik di beberapa marketplace yang ada di Jepang.
Dari pengungkapan itu, dua orang ditetapkan sebagai tersangka yakni DK dan SB.
"Keduanya merupakan warga negara Indonesia. Tersangka DK berada di sini, sementara tersangka SB ada di Jepang," ujar Brigjen Pol. Adi Vivid Agustiadi Bachtiar, S.I.K., M.Hum., M.S.M., Selasa (8/8/23).
Pengungkapan ini bermula dari penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Jepang, atas laporan delapan warganya yang menjadi korban peretasan kartu kredit oleh kedua tersangka. Aksi itu dilakukan oleh kedua pelaku rentang waktu 2016 sampai dengan 2021.
DK dan SB menggunakan hacking tools ketika mengakses secara ilegal. Hacking tools merupakan kode (script) yang dapat digunakan untuk meretas akun pembayaran elektronik internasional, hingga kartu kredit yang beroperasi di seluruh dunia.
"Kode tersebut digunakan oleh para peretas untuk mengambil data pribadi pemilik akun mulai data nomor kartu kredit, email, kata sandi, KTP/NIK, paspor, nomor telepon dan data pendukung lainnya," papar Brigjen Pol. Adi.
Baca Juga: Negosiasi Kepada KKB Tetap Dilakukan Untuk Bebaskan Pilot Susi Air
Para pelaku melakukan ilegal akses dalam pembelian barang-barang elektronik secara daring di Jepang dengan korban para pemilik akun marketplace B-Stock dan Tsukumo net shop yang menimbulkan kerugian kurang lebih Rp1,6 miliar.
Para pelaku menggunakan hasil pencurian data dan info korban tersebut untuk melakukan aktivitas belanja di marketplace."Barang hasil kejahatan tersebut kemudian dijual oleh tersangka SB, kemudian sebagian uang hasil penjualan tersebut dikirimkan ke tersangka DK di Indonesia," ungkap Brigjen Pol. Adi.
Atas perbuatannya, para pelaku diproses hukum terpisah, SB ditangani oleh Kepolisian Jepang, sedangkan DK ditangani Bareskrim Polri. DK dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 46 ayat (1), (2), (3) juncto Pasal 30 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang ITE berupa ilegal akses dengan ancaman hukuman pidana maksimal delapan tahun serta denda Rp800 juta. Kemudian Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ITE terkait modifikasi informasi dan dokumen elektronik, ancaman hukum delapan tahun penjara dan denda Rp2 miliar.
Penyidik juga menjerat dengan Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU ITE terkait manipulasi seolah-olah otentik, serta Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan ancaman lima tahun pidana penjara.
Atase Kepolisian Jepang Takayuki Miyagawa yang hadir dalam konferensi pers itu menyebutkan, pengungkapan kasus ini merupakan hasil kerja sama investigasi Kepolisian Jepang dengan Bareskrim Polri yang mulanya diselidiki oleh kepolisian Jepang.
Kepolisian Jepang dan Bareskrim Polri telah menandatangani kerja sama (MoU) dalam penanganan kejahatan-kejahatan transnasional. "Kepolisian Jepang dan Polri sudah menandatangani MoU di bulan Januari, dan ini merupakan kolaborasi pertama setelah penandatanganan kerja sama," tutup Miyagawa.
(ndt/hn/nm)