Tribratanews.tribratanews.com - Jakarta. Komnas Perempuan dan Bareskrim Polri menggelar pertemuan untuk membahas pemetaan kebutuhan penanganan perempuan berhadapan hukum (PBH). Dalam pertemuan tersebut, Komnas Perempuan berdiskusi mengenai peraturan di internal kepolisian Polri tentang Penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dan penerapan keadilan restoratif kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyampaikan, pihaknya dan Polri telah sepakat menjalani kerja sama penanganan PBH. Komnas Perempuan juga mengapresiasi perkembangan dan pekerjaan dari Unit PPA dalam menghadapi berbagai kasus KBG yang cukup berat di banyak tingkatan kepolisian.
“Komnas Perempuan bersedia menjadi teman diskusi dan bekerjasama dalam penguatan dan peningkatan kapasitas dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri, serta memberikan dukungan untuk terbentuknya Direktorat PPA,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (13/2/24).
Baca Juga: Sebanyak 820 Personel Siap Amankan Pemilu 2024 di Siak
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menambahkan, peraturan penanganan PBH di Polri sangatlah penting, mengingat tugas penyidik yang bertambah usai adanya UU TPKS. Namun, Komnas Perempuan mengapresiasi bahwa Polri telah memiliki tiga peraturan internal yang berkaitan dengan Kekerasan terhadap Perempuan.
“Akan tetapi dengan lahirnya UU TPKS, Komnas Perempuan memandang penting Polri membuat kebijakan internal baru berkaitan dengan PBH, yang mencakup di dalamnya saksi, korban, dan tersangka perempuan, termasuk penanganan TPKS yang disinkronkan dengan UU TPKS,” ungkapnya.
Sejalan dengan mendukung kinerja Polri dalam penanganan PBH, ujarnya, Komnas Perempuan menyarankan agar dalam Direktorat PPA ke depan penanganan kasus PBH dan anak berhadapan dengan hukum (ABH) ditempatkan ke dalam unit berbeda. Hal itu lantaran tingginya kasus pada kedua kelompok ini dan perkembangan kasus KBG terhadap perempuan yang semakin kompleks dan beragam.
Ditambahkan Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, pihaknya menemukan sembilan provinsi di Indonesia terkait implementasi keadilan restoratif. Temuan pemantauan memperlihatkan pentingnya penguatan bagi aparat penegak hukum yang meliputi pengetahuan, proses dan dampak dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mekanisme keadilan restoratif, di mana tercatat dari 115 kasus dengan mekanisme keadilan restoratif di institusi penegak hukum, 65 di antaranya diterapkan oleh Polri.
“Selain itu, ditemukan pula bahwa di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di daerah timur, lembaga adat berkedudukan kuat di masyarakat, bahkan seringkali lebih kuat dari Polri, hal ini berdampak pada banyak kasus sedang atau akan ditangani Polri yang dikembalikan ke lembaga adat,” ujarnya.
Sejalan dengannya, Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi menyampaikan, meskipun Polri ada sampai tingkat desa, namun lebih banyak penyelesaian kasus dilakukan melalui lembaga adat. Di sisi lain, sangat disayangkan karena peran dari Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
“Penentuan denda adat ditemukan tidak mempertimbangkan kebutuhan korban dan membuka celah impunitas pada pelaku. Kondisi serupa disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, dalam hal TPKS dilakukan oleh tokoh agama atau institusi-institusi pendidikan yang berlatar belakang agama,” ujarnya.
Kabareskrim Polri Komjen. Pol. Wahyu Widada menyambut baik masukan dan hasil pemantauan yang disampaikan Komnas Perempuan. Ia menyampaikan bahwa baik Polri maupun Komnas Perempuan memiliki niat dan tujuan yang sama untuk dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak.
Kabareskrim, sepakat untuk meninjau ulang dan menambahkan hal-hal yang terkait penerapan peraturan yang diatur UU TPKS mengingat peraturan internal yang ada sudah cukup lama. Ia juga menyepakati bahwa pemahaman yang benar terkait keadilan restoratif perlu untuk diperkuat, dan ketika berbicara mekanisme keadilan restoratif bukanlah hal yang sederhana, terlebih dengan posisi Polri sebagai garda terdepan dalam penanganan kasus.
Dijelaskan Kabareskrim, kompleksitas dari penerapan keadilan restoratif di masyarakat memang terjadi. Tak dipungkiri, berbagai hambatan-hambatan yang ditemukan dan dihadapi oleh Polri, contohnya seperti pelatihan dan sumber daya.
“Audiensi ini diharapkan dapat memperkuat kerja sama antar instansi dan mendorong semakin baiknya penanganan terhadap KBG terhadap perempuan di Indonesia, terlebih dengan peran dan kewenangan Polri sebagai garda terdepan dalam menangani PBH,” ungkapnya.
Turut hadir dalam pertemuan, Komisaris Jenderal Polisi Drs. Wahyu Widada, M.Phil (Kabareskrim Polri), Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro, S.H., M.H. (Dirtipidum Bareskrim Polri), Kombes Pol. Enggar Pareanom, S.Sos., S.I.K. (Kasubdit V Dittipidum) dan, AKBP Ema Rahmawati, S.I.K (Kanit PPA Bareskrim Polri). Sedangkan dari Komnas Perempuan dihadiri oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Ansor, dan Badan Pekerja Komnas Perempuan, yaitu Zariqoh Innayah dan Shafira Anna.
(ay/hn/nm)