www.tribratanews.com - Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menyatakan bahwa negara senantiasa hadir dalam menyelesaikan persoalan – persoalan kekerasan, termasuk kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Kehadiran negara ini juga merupakan salah satu perwujudan konstitusi negara Indonesia yang menyebutkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dibentuk diantaranya untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
“Jaminan yang diberikan oleh konstitusi tersebut tentunya perlu dilakukan negara dan pemerintah dengan memberikan rasa aman dan perlindungan kepada seluruh warga negara terutama perempuan yang jumlahnya hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia, dan anak yang jumlahnya 1/3 dari populasi penduduk yang didalamnya ada kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya dari ancaman ketakutan, penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat manusia,” jelas Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, dalam Webinar “Victimisasi Korban Perkosaan Berlanjut Hingga Persidangan : Sudahkah Terdakwa Menyesal? (Refleksi pengawalan proses hukum kasus perkosaan di pesantren)” yang diselenggarakan oleh Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual, pada Jumat (30/9).
Ratna kemudian mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtPA) merupakan sebuah fenomena gunung es. Kasus yang terdata dan terlaporkan hanya sebagian kecil dari kasus yang bener-benar terjadi di masyarakat. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi baik di ranah keluarga (KDRT) maupun di ranah publik, dengan spektrum yang semakin luas dengan modus yang semakin beragam.
“Dalam data Simfoni PPA sepanjang 2022 saja, berdasarkan tahun kejadian yang diakses pada 12 Juli 2022, menunjukkan jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) 3.131 kasus dengan korban sebanyak 3.238 orang. Korban Kekerasan Seksual (KS) terhadap perempuan sebanyak 542 orang atau 16,7% korban KtP adalah korban KS. Adapun Kekerasan terhadap Anak (KtA) sebanyak 4.148 kasus dengan korban sebanyak 4.526 orang. Korban KS terhadap anak sebanyak 2.436 orang, hal ini berarti 53,8% korban KtA adalah korban kekerasan seksual,” ungkap Ratna.
Menurut Ratna, tren meningkatnya pelaporan kasus kekerasan di tengah menurunnya prevalensi kekerasan secara umum ini juga menunjukan hal positif karena artinya masyarakat mulai berani dan percaya untuk membuat laporan pengaduan kepada layanan pengaduan yang tersedia. Semakin masifnya penggunaan media sosial juga turut andil untuk mengungkap berbagai kasus kekerasan.
“Arahan Presiden RI kepada Kemen PPPA, salah satunya yaitu upaya untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagai wujud kehadiran negara dalam menyelesaikan persoalan kekerasan, Presiden RI memberikan tambahan fungsi layanan kepada Kemen PPPA sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pasal 3 huruf d dan e, yang menyebutkan tambahan fungsi layanan yang dimaksud, yaitu Penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional, dan Penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional,” jelas Ratna.
Ratna menambahkan, dalam memberikan fungsi layanan tersebut Kemen PPPA kemudian menyediakan layanan pengaduan SAPA129, yang dapat dihubungi oleh masyarakat apabila melihat atau mendengar adanya kekerasan seksual melalui Call Center 129, atau nomor Whatsapp pada 08111-129-129.
“Tentunya, upaya ini tidak mudah tanpa kerja bersama, sinergi dan kolaborasi semua pihak. Maka menjadi penting adanya sinergi dan kolaborasi dengan seluruh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga, dan masyarakat. Termasuk juga dengan media, bagaimana media memiliki peran penting dalam membantu mendorong masyarakat untuk memahami bahwa saat ini sudah ada jaminan hukum yang sangat jelas dari pemerintah sebagai bukti bahwa negara hadir untuk menyelesaikan persoalan – persoalan kekerasan,” jelas Ratna.
Kemudian, terkait kasus kekerasan yang menimpa santriwati di Jombang, Ratna mengatakan pihak Kemen PPPA terus mengawal jalannya kasus ini, dengan pengawalan langsung maupun melalui upaya membangun koordinasi lintas K/L dan lintas kepentingan terkait.
“Perhatian kami tentunya dalam mengedepankan perspektif kepentingan yang terbaik bagi korban, kami juga bersinergi dan berkolaborasi dengan pihak – pihak terkait dalam rangka memberikan pendampingan dan perlindungan yang terbaik bagi korban, juga mendorong agar korban mendapatkan keadilan dalam proses hukumnya. Kami terus mengawal prosesnya sampai dengan agenda persidangan ke– 20 guna memastikan pelindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan dalam kasus - kasus MSAT,” ungkap Ratna.
Sementara itu, Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan bagaimana victimisasi seringkali dialami oleh korban kasus – kasus kekerasan seksual. “Victimisasi adalah perbuatan atau fakta untuk menyalahkan orang lain yang sedang mengalami kesulitan, atau mengalami hal – hal yang tidak enak di dalam hidupnya. Victimisasi yang dialami korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual ini tidak lepas dari nilai – nilai budaya kita. Ini yang mungkin harus kita lihat di kasus Jombang, juga di kasus – kasus kekerasan lainnya. Jangan sampai stereotype di kasus – kasus kekerasan seksual itu di adopsi oleh kepala penegak hukum kita, yang kemudian dapat mempengaruhi proses hukum korban,” jelas Siti.
Menurut Siti, beberapa gender stereotype yang seringkali dilekatkan terhadap korban kekerasan seksual tersebut, diantaranya seperti perempuan yang sendirian di malam hari atau mengenakan pakaian tertentu akan membuat perempuan tersebut bertanggung jawab jika dilecehkan secara lisan, fisik, dan seksual, kemudian tidak adanya bukti kekerasan fisik dalam kekerasan seksual menunjukkan adanya persetujuan, tawaran pelaku untuk menikahi korban menjadi penyelesaian kasus kekerasan seksual, hingga keterlambatan dalam melaporkan kekerasan seksual yang menimbulkan pertanyaan tentang akurasi, otentiknya posisi korban, dan niat korban.
“Mari kita menjadikan kasus (Jombang) ini sebagai proses pembelajaran kita bersama bahwa seluruh pihak, aparat penegak hukum, negara dan masyarakat bahu membahu memenuhi hak korban. Termasuk mengikiskan gender stereotype, mengikis mitos – mitos tentang kekerasan seksual, dan pemerkosaan. Karena jika tidak mematahkan itu, maka korban akan terus mengalami victimisasi,” jelas Siti.
Sumber : kemenpppa.go.id