Tribratanews.tribratanews.com - Tragedi Kanjuruhan menyisakan banyak misteri. Terutama kematian 135 korban termasuk di dalamnya dua anggota Polri yang sedang bertugas untuk pengamanan pertandingan. Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam atas jatuhnya ratusan suporter “Singo Edan” julukan buat Aremania. Perlu ada pengkajian khusus bagaimana petugas kepolisian juga bisa menjadi korban, dalam kejadian tersebut.
Dua korban, yaitu Bripka Anurmerta Fajar Yoyok Pujiono dan Bripka Anumerta Andik Purwanto. Keduanya berasal dari Polres Trenggalek dan Polres Tulungagung, Kematian dua anggota Polri ini pun masih simpang siur. Ada info yang menyebutkan dua korban petugas itu juga berada di antara ratusan suporter yang berdesak-desakan di pintu keluar yang sempit. Ada pula cerita Kiper Persebaya yang diselamatkan anggota Polri dan penolongnya terjatuh dan babak belur dikeroyok suporter yang marah.
Baca Juga : Wakapolri Bersama Kapolda Bali Laksanakan Tactical Floor Game (TFG) dalam Rangka Presidensi G-20
Menurut Pengamat Kepolisian dan Praktisi Media Edy Budiyarso, SPd, SH, MH. Kajian atas tewasnya petugas kepolisian dalam tugas, perlu untuk menjadi bahan evaluasi bagi Polri di dalam penugasan yang berpotensi membahayakan fisik atau pun nyawa petugas. Memang, kasus Tragedi Kanjuruhan sangat spesifik di banding tugas-tugas kepolisian dalam penegakkan hukum.
Studi di Amerika terkait "Assaults on Police Officers" yang mengakibatkan tewasnya petugas kepolisian dalam tugas di New York, menyebutkan bahwa 88 persen pelakunya adalah pelaku kriminal. Riset Major 1991 di Negara bagian Oklahoma dengan tingkat kriminal dibawah kota New York, sepanjang tahun 1980 dari 1.077 pelaku pembunuhan atas petugas kepolisian, 24 persen pelakunya memiliki karakter yang sama pernah melakukan tindak kejahatan.
Dari data di Amerika ini, nampak bahwa mereka yang memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan kepada petugas adalah mereka yang tergolong penjahat, atau orang dengan pengaruh alkohol dan narkotika. Hal ini terkait hukuman yang sangat berat bagi pelaku pembunuhan kepada petugas polisi di sana. Apalagi dengan profil petugas berseragam, rasanya hanya mereka yang memiliki derajat kewarasan rendah yang memiliki keberanian melawan dan membunuh petugas yang sedang berdinas.
Sehingga tewasnya, anggota polisi penting dan menjadi pelajaran berharga dan tak hanya menambah daftar prasasti saja. Profesor Samuel G. Chapman, ahli kepolisian di Oklahoma, AS, menyebut bagaimana cara mencegah penyerangan dan pembunuhan atas polisi. Harus adanya, jalur komunikasi yang relevan untuk meningkatkan kesadaran petugas di lapangan akan situasi yang memunculkan penyerangan. Juga training terus menerus untuk mengasah dinamika situasional penyerangan serta cara polisi untuk bertahan.
Dalam kasus Kanjurahan, informasi intelejen kepolisian yang memberikan rekomendasi pertandingan dilangsungkan lebih awal sebenarnya cukup mengindikasikan adanya potensi ancaman kekerasan atau kerusuhan. Pelajaran mahal dari Kanjuruhan agar tidak terulang kembali, karena tak terbayar nyawa suporter juga polisi.
(ta/um)