Kasus Sambo dan Metode Bertillon

30 October 2022 - 12:07 WIB
Sumber Foto : channel9.id

Tribratanews.tribratanews.com -  Pengamat Kepolisian dan Praktisi Media  Edy Budiyarso, SH, MH. Mengatakan, Istilah “scientific crime investigation” belakangan kerap dipakai oleh petinggi Polri untuk menyebutkan penyelidikan ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan dalam mengungkap kasus kejahatan.

Seperti dinyatakan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, bahwa pengungkapan kasus kematian Brigadir J, menggunakan metode “scientific crime investigation” atau kerap disebut CSI.  Cara ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena cara ini menggabungkan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi.

Adalah Alphonse Bertillon, Kriminolog asal Perancis (1835-1914) yang memperkenalkan metode deteksi ilmiah.  Perancis, memang dikenal dengan kisah detektifnya yang ulet mengejar penjahat, seperti cerita Inspektur Javerts dalam cerita film Les Miserables.

Bertillon menggunakan metode antropometri untuk mengindetifikasi pelaku kejahatan yang sebelumnya tak dicatat polisi secara akurat.  Dengan Antropometri, Bertillon berkeyakinan bahwa para penjahat memiliki ciri-ciri fisik khusus di tubuhnya yang berbeda dengan orang awam.

Karenanya, Bertillon perlu mengukur para narapidana yang sedang di penjara.  Pengukuran mencakup, panjang dan lebar kepala, panjang jari kiri, tengah dan jari kelingking, panjang kaki kiri, panjang lengan kiri, panjang telinga kanan, tinggi badan, ukuran rentang lengan dan ukuran panjang badan hingga ujung kepala saat orang dalam posisi duduk.  Model pengidentifikasian inilah yang kemudian dikenal sebagai Metode Bertillon.

Walaupun Metode Bertillon dianggap kuno bagi kejahatan modern seperti sekarang ini yang mencoba menghilangkan jejak dengan sesempurna mungkin. Tetapi, sistem ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengidentifikasian yang lebih sophisticated. Metode ini masih dipakai hingga kini dalam pengidentifikasian wajah dan postur pelaku kejahatan yang sering dibuatkan dalam sketsa pelaku kejahatan.

Sedangkan bagi pembunuhan dengan derajat sadisme level tinggi, seperti mutilasi dan lain-lain, penggunaan data antemortem seperti sidik jari, bentuk gigi pada tengkorak korban, hingga kode genetik atau DNA dinilai lebih akurat.  Dan kemampuan ini sudah dikuasai oleh jajaran INAVIS dan Laboratorium Forensik Polri yang menjadi support system Bareskrim Polri.

Jadi, seperti adigium “Tidak ada kejahatan yang sempurna”,  maka dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi canggih yang semakin banyak dikuasai detektif kita, berbagai kejahatan walaupun hendak disembunyikan serapi apa pun, tetap besar kemungkinan bisa terungkap. Lalu bagaimana, jika masih ada “dark number?” Itu hanya soal waktu saja.

(ta/um)


in Opini

Share this post

Sign in to leave a comment