Tribratanews.tribratanews.com – Jakarta. Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna. Situs ini kemudian diserahkan kepada VOC Belanda di bawah Perjanjian Bungaya 1667 untuk diduduki. Benteng ini memiliki enam bastion dan dikelilingi oleh dinding setinggi tujuh meter dan parit sedalam dua meter, dilansir dari Wikipedia.
Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Benteng ini juga merupakan markas militer dan pemerintahan daerah Belanda hingga tahun 1930-an, Pada 1937 kepemilikan Benteng Rotterdam oleh pemerintah Hindia Belanda diserahkan kepada Yayasan Fort Rotterdam.
Pada tahun 1667 Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Bungaya, setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar. Pada tahun-tahun berikutnya, benteng dibangun kembali secara keseluruhan atas prakarsa laksamana Belanda Cornelis Speelman, untuk menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi, Benteng itu berganti nama menjadi Fort Rotterdam, dinamai dari kota tempat lahir Speelman, Rotterdam. Pada tahun 1673–1679, lima bastion benteng ini memiliki bentuk seperti penyu dan bentuk itu bertahan hingga kini, oleh karena itu benteng ini diberi julukan "Benteng Penyu".
Baca Juga: Inter Milan Menang Telak 2-1 Lawan PSG
Batuan yang digunakan untuk membangun benteng ini diambil dari pegunungan karst yang ada di Maros, batu kapur dari Selayar, dan kayu dari Tanete dan Bantaeng, Setelah Perang Jawa (1825–1830), Pangeran Diponegoro dipenjara di benteng tersebut setelah diasingkan ke Makassar pada tahun 1830 hingga kematiannya pada tahun 1855, Benteng ini juga digunakan sebagai kamp tawanan perang Jepang selama Perang Dunia II.
Fort Rotterdam tetap menjadi markas militer dan pemerintahan Belanda hingga tahun 1930-an, Setelah tahun 1937, benteng tersebut tidak lagi digunakan sebagai pertahanan, Selama pendudukan Jepang yang singkat, benteng ini digunakan untuk melakukan penelitian ilmiah di bidang linguistik dan pertanian, Pada tahun 1970-an, benteng ini dipugar secara besar-besaran.
Di dalam benteng terdapat tiga belas bangunan, sebelas di antaranya adalah bangunan asli benteng abad ke-17; sebagian besar kondisinya masih bagus. Di tengah benteng terdapat bangunan gereja. Beberapa bangunan di sepanjang dinding utara dan selatan masih ada. Bangunan di sepanjang dinding utara merupakan beberapa bangunan tertua, berasal dari tahun 1686, seperti rumah kediaman gubernur, pedagang senior, kapten, predikant, dan sekretaris, serta beberapa bangunan penyimpanan senjata. Kediaman gubernur di sudut paling barat laut dijuluki sebagai "Rumah Speelman", walau Speelman sendiri tidak pernah tinggal di rumah itu. Rumah itu digunakan gubernur Sulawesi hingga pertengahan abad ke-19 ketika ia pindah ke vila yang lebih nyaman di Jalan Ahmad Yani. Rumah Speelman sekarang menjadi bagian dari Museum La Galigo. Museum La Galigo mengoleksi beberapa megalit prasejarah dari Watampone, serta senjata kuno, koin, kerang, perkakas, sketsa, dan prangko.
Bangunan-bangunan di dinding selatan yang dulu merupakan sebagai tempat penyimpanan, kini menjadi museum yang menampilkan kesenian lokal dalam menenun sutra, pertanian, dan pembuatan kapal. Barak di tembok timur sekarang menampung perpustakaan kecil, menampilkan buku-buku Belanda kuno yang sebagian besar milik Pendeta Mates, seorang misionaris di abad ke-19. Terdapat juga catatan para kapal kapten VOC dan manuskrip lontar. Departemen arkeologi bertempat di bekas gedung kepala administrasi VOC; lantai dasar bangunan yang terletak di sudut tenggara benteng ini dulunya adalah penjara. Dua bangunan lain di dalam Fort Rotterdam dibangun oleh Jepang selama masa pendudukan Jepang. Bastion di barat daya (Bastion Bacan) terdapat penjara di mana Pangeran Diponegoro dipenjara hingga akhir hayatnya.
(rd/hn/nm)