Tribratanews.tribratanews.com - Denpasar. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengemukakan kepemimpinan dan perhatian politik adalah hal penting bagi keberlanjutan sistem deteksi dini bencana alam.
"Saya ingin memulai ini dengan kisah mimpi buruk 20 tahun lalu. Saat itu sebagian besar masyarakat kami tidak tahu apa itu tsunami. Itu membuat kami bingung dan terkesima karena saat itu kami tidak memiliki peringatan dini sama sekali," ungkap Kepala Dwikorita dalam World Water Forum Ke-10 di Bali, Senin (20/5/24).
Ia mengatakan bencana tsunami Aceh pada 2004 silam telah memberi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam pengembangan sistem peringatan dini tsunami yang kala itu masih bersifat manual dengan tingkat sensitivitas pada getaran gempa bumi maksimal 20 seismograf.
Dampak dari sistem yang tidak akurat itu, mengakibatkan 130 ribu orang di wilayah terdampak serta yang tersebar di negara sekitar dilaporkan tewas diterjang ombak besar.
Merespons bencana itu, Pemerintah RI kemudian mereformasi sistem peringatan dini ke alat yang bersifat digital.
Selain itu, undang-undang nasional juga mengharuskan kurikulum pembelajaran siswa memberikan edukasi kepada pelajar untuk mengenal tsunami, kata Dwikorita menambahkan.
Sejak itu, sistem peringatan dini tsunami di Indonesia mulai bertransformasi pada kebutuhan big data untuk menopang sistem kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam mendeteksi dini bencana.
"Lima tahun berselang, sistem yang dikembangkan belum sepenuhnya optimal. Potensi tsunami lanjutan yang diprediksi BMKG terjadi di 2009, nyatanya nihil. Di 2009, kita sadari ada tsunami yang disebabkan gempa bumi yang kemungkinan besar terjadi di Palu. Kami siapkan diri bagi masyarakat dan pemerintah setempat, tapi lima tahun kemudian tidak terjadi apa-apa," jelas Kepala Dwikorita.
Pada kurun waktu tersebut, terjadi perubahan kebijakan sistem peringatan dini tsunami di Palu, imbas pergantian pemerintahan daerah melalui Pilkada.
"Terjadi perubahan pemerintah daerah, semua yang disiapkan ditinggalkan, karena ada perubahan kebijakan. Kami kembali ke titik nol," ujar Kepala Dwikorita.
Saat warga setempat tidak siap di 2018, wilayah Palu, Sulawesi Tengah, pun diguncang tsunami berkekuatan 7,6 skala magnitudo.
"Intinya bukan tentang teknologi, observasi yang sistematis, tapi kelanjutan dari kebijakan yang diterapkan dan kebijakan yang dihasilkan," tutup Kepala Dwikorita.
(ndt/hn/nm)