Think Before You Click

4 April 2020 - 01:48 WIB
Menyambut Pilpres dan Pileg pada bulan April mendatang, publik perlu lebih kritis dalam mengolah berbagai informasi yang diterima. Tidak dapat dipungkiri bahwa menjelang kontestasi politik tahun 2019 terdapat banyak konten provokatif yang beredar di dunia maya. Beberapa jenis konten provokatif yang tersebar terdiri dari berita bohong (hoax), berita palsu (fake news), penghinaan dan pencemaran nama baik (defamation), dan penistaan agama (blasphemy). Konten provokatif tersebut seringkali bermuatan politik dan dikemas dalam berbagai isu seperti sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya. Mengutip dari hasil peneltian yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) melansir bahwa isu politik memang menjadi topik yang cukup banyak dibicarakan dan selama tahun beberapa tahun terakhir.1 Sebut saja isu kriminalisasi ulama, perekonomian yang tidak stabil, politik identitas, bahkan kebangkitan kelompok komunis di Indonesia, menjadi isu yang kerap dimanfaatkan pelaku tak bertanggungjawab untuk memainkan opini publik. Pada tahun 2017, Dittipidsiber berhasil memetakan 1350 akun yang menyebarkan konten hoax di berbagai platform, seperti facebook, twitter, instagram, youtube, whatsapp, dan situs lainnya. Sebanyak 52% dari jumlah akun tersebut merupakan akun semianonymous, sehingga pengungkapan identitas pemilik akun menjadi cukup sulit dilakukan. Pada tahun 2018, tren penyebaran konten mengalami peningkatan. Sebanyak 3.884 akun diketahui terlibat dalam praktik penyebaran konten provokatif, termasuk hoax. 65% diantaranya dilakukan oleh akun anonymous sehingga proses penyelidikan cenderung lebih sulit dari sebelumnya. Pada tahun yang sama, Dittipidsiber mengkompulir seluruh laporan polisi terkait kejahatan siber di Indonesia dan ternyata ada 1.754 laporan yang terkait dengan penyebaran konten provokatif. 2 Hal itu menunjukan bahwa jumlah penyebaran konten provokatif di Indonesia tergolong cukup tinggi selama tahun 2018. Fenomena penyebaran konten provokatif juga terlihat dari survei yang dilakukan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) pada Juli hingga September 2018 lalu. Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa selama rentang waktu tersebut ada sekitar 230 hoax bermuatan politis yang terproduksi dan tersebar di jagad maya. Angka ini tentu akan terus bertambah seiring waktu pemilihan presiden yang semakin dekat. Oleh karena itu, tahun 2019 diprediksi sebagai puncak produksi konten provokatif di tengah masyarakat. Ada beragam konten yang berhasil menarik perhatian masyarakat dalam waktu yang cukup lama. Pada awal tahun 2019, beredar isu tentang adanya 7 kontainer yang berisi sejumlah surat suara yang dikirim dari Cina. Berita itu beredar melalui aplikasi Whatsapp dengan bentuk rekaman suara yang kemudian disebarluaskan lagi ke platform media sosial lainnya, seperti Facebook, Twitter, maupun Instagram. Rekaman tersebut berisi tentang adanya sejumlah surat suara yang telah dicoblos pada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, setelah diselidiki oleh kepolisian, KPU, dan stakeholder lain, kabar itu tidak terbukti kebenarannya. Langkah cepat KPU dan Bareskrim Polri dalam mengusut kasus penyebaran hoax ini tentu layak diacungi jempol. Hingga berita ini ditulis, Bareskrim Polri telah berhasil mengamankan 9 tersangka penyebar hoax ini, termasuk 1 orang pembuat rekaman suara yang tersebar di grup Whatsapp. Konferensi pers yang dilakukan oleh pihak KPU dan Bawaslu juga membantu meredam penyebaran hoax tak bertanggung jawab ini. Fenomena Penyebaran Konten Provokatif di Dunia Maya (Internasional) Penyebaran hoax dalam kontestasi politik, tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara lain. Pada Oktober 2018 lalu, Jair Bolsonaro, seorang politisi asal Rio de Janeiro, berhasil memenangkan pemilu presiden di negara Brazil. Hal ini menjadi berita yang cukup mengejutkan karena Bolsonaro dikenal sebagai tokoh yang berasal dari Partai Liberal Sosial (Partai Sayap Kanan) selama hampir 2 dekade. Sebelumnya, rakyat Brazil selalu memilih presiden yang berasal dari politik sayap kiri. Namun, berbeda pada tahun 2018, mereka justru memilih Presiden dari partai sayap kanan. Namun, hasil akhir pemilu berkata lain. Bolsonaro, yang sering mengeluarkan pernyataan kontroversial itu, justru berhasil memenangkan hati rakyat dengan meraup suara pemilih sebanyak 55,7 persen. Selama proses kampanye berlangsung, ada beragam konten provokatif bermuatan politik yang tersebar melalui media sosial dan beberapa media arus utama di Brazil. Kejutan serupa juga terjadi pada pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 2016 lalu. Harapan menahun Hillary Clinton untuk bisa menduduki singasana White House harus kandas karena kemenangan mengejutkan Donald Trump. Senasib dengan Bolsonaro, Trump sebelumnya juga tidak terlalu dijagokan untuk menang karena seringkali mengeluarkan pernyataan kontroversial dan dianggap problematik. Namun nyatanya, Trump itu berhasil mengantongi 306 electoral vote, jauh mengungguli Clinton yang hanya mendapatkan 232 electoral vote. Selama proses kampanye Trump dan Clinton, fenomena penyebaran informasi abu-abu juga terjadi. Apa benang merah yang berhasil mengantarkan keduanya melanggeng mulus menuju kursi presiden? Salah satu jawaban yang diyakini para pengamat adalah masifnya politik hoax yang menggerakkan masyarakat. Dilansir Vox, Benjamin Junge, mengatakan bahwa Whatsapp, platform media sosial paling populer sekaligus ladang subur konten hoax di Brazil, memiliki peran penting dalam menjelaskan alasan terpilihnya Bolsonaro sebagai presiden baru negeri Samba tersebut. Selain Whatsapp, Junge juga menyebut Facebook sebagai medium krusial kedua yang paling masif dalam penyebaran hoax sehingga dapat mempengaruhi perolehan suara pada pemilu Brazil. Junge, yang menjadi profesor antropologi di State University of New York yang meneliti tentang keluarga kelas pekerja dan menengah di Brazil, menjelaskan bahwa kepopuleran Whatsapp mendorong penyebaran hoax yang masif di masyarakat Brazil. Junge meyakini bahwa setiap keluarga di Brazil setidaknya aktif atau memiliki grup di Whatsapp yang memungkinkan mereka untuk bertukar informasi. Tak hanya grup keluarga saja, Whatsapp pun menjadi lahan basah utama bagi kelompok-kelompok simpatisan, radikal maupun konservatif untuk menjalankan aksinya, mencari pengikut dan bertukar informasi di grup. Richard Gunther, Paul A. Beck dan Erik C. Nisbet, selaku peneliti, menuliskan bahwa tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap berita bohong memiliki dampak lebih besar sebanyak 3,9 persen lebih besar dalam mempengaruhi hasil suara.11 Hal ini terlihat pada pemilu Amerika Serikat tahun 2016 dimana angka 3,9 persen yang dimaksud terhitung lebih besar dibanding jumlah partisan dari kelompok oposisi atau kelompok yang membenci Clinton secara personal. Berkaca dari Amerika Serikat dan Brazil, apakah warga negara Indonesia membiarkan hoax mempengaruhi pilihan kita dalam Pemilu 2019 nanti? Meraih Kemenangan dengan Hoax Konten provokatif terbukti menjadi manuver ampuh bagi oknum tak bertanggungjawab untuk memainkan suara publik dan mendapatkan keinginannya. Dengan penggunaan internet yang masif—dimana tingkat pengguna internet di Indonesia di tahun 2017 yang telah mencapai sebanyak 143 juta pengguna— pelaku pun menjadi pendulang kemudahan akses informasi yang ada dengan ledakan hoax. Dengan kemudahan akses sekaligus produksi informasi, kontrol informasi pun tak lagi hanya ada di tangan jurnalis maupun media semata. Algoritme dunia maya yang memungkinkan pengguna untuk mendapat akses informasi sesuai yang mereka sukai juga mendorong hoax untuk terpapar lebih mudah bagi pengguna internet. Verifikasi dan validasi data menjadi tindakan yang penting dilakukan dalam mengkritisi setiap informasi yang diterima. Pakar Komunikasi Politik Universitas Bunda Mulia Silvanus Alvin, seperti yang dikutip dari MSN News, mengatakan bahwa terdapat polarisasi kubu politik dan kecenderungan untuk mencari pembenaran atas bias politik individu (conformation of bias). Hal itu menjadi alasan mengapa hoax bisa dipercaya masyarakat. Akibatnya, kampanye hitam saling serang antar kandidat pilpres pun sangat dimungkinkan untuk terjadi. Kebenaran post-truth—dimana keyakinan dan perasaan pribadi dianggap lebih bermakna dibanding fakta dan realita sebenarnya—menjadi kebenaran hakiki dalam masyarakat. Mereka tidak peduli dengan kebenaran keyakinan yang mereka percaya. Informasi yang mendukung keyakinan yang mereka percaya, itulah yang penting bagi mereka. Hoax, pada akhirnya menjadi motor penggerak yang efektif untuk mendulang suara rakyat sebanyak-banyaknya. Maka dari itu, literasi media dan politik masyarakat yang kurang pun juga jadi masalah yang harus diatasi dalam upaya memerangi hoax. Masyarakat Indonesia di Pusaran Perang Siber Masyarakat Indonesia harus paham bahwa mereka pada dasarnya berada di dalam pusaran perang informasi. Di era teknologi seperti sekarang ini, perang tak lagi dimaknai dalam bentuk konvensional saja. Perang di dunia siber atau cyber warfare terbukti lebih efektif, ekonomis dan mampu memecah belah masyarakat dan negara sehingga hal tersebut menjadi ancaman nyata yang harus diwaspadai. Dengan kata lain, ancaman yang datang pun tak hanya melulu dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri. Tak hanya perang siber, saat ini hybrid warfare atau perang hybrid juga menjadi bentuk perang yang lebih mutakhir dengan menggabungkan antara perang konvensional dan perang siber. Perang ini dapat menjangkau hingga spektrum militer, ekonomi, sosial, informasi dan infrastruktur negara. Hoax menjadi salah satu bentuk serangan siber (cyber attack) sekaligus ancaman siber (cyber threat) dalam perang ini. Hoax digunakan untuk mengeksploitasi kelemahan komponen negara sehingga terjadi perpecahan di dalamnya. Dengan adanya hoax, masyarakat digunakan sebagai pion-pion untuk dapat memenangkan perang oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Pada akhirnya, hoax harus dilawan dengan menggunakan strategi penanggulangan disinformasi, antara lain melalui:
  1. Exposure, yakni melakukan sosialisasi dan penyuluhan;
  2. Engagement Public Trust, yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur;
  3. Neutralization, yakni melakukan netralisasi melalui sumber media mainstream yang terpercaya dan instansi pemerintah terkait;
  4. Contra Opinion, yakni menyebarkan humor / meme untuk mematahkan opini yang berkembang di masyarakat
  5. Law Enforcement, yakni optimalisasi penegakan hukum terhadap hoax dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Strategi politik untuk meraih simpati pemilih dengan menggunakan hoax tentu bukan cara terhormat untuk memenangkan kontestasi politik. Yang terpenting adalah upaya kolaboratif dari pemerintah dan kita sebagai warga negara dengan menyadarkan masyarakat untuk tidak membuat atau meneruskan hoax yang tidak jelas sumber beritanya. Pada akhirnya, internet dan media sosial bukan merupakan ruang privat melainkan ruang publik, dimana seluruh tulisan dan statement yang di-posting memiliki konsekuensi hukum sehingga dapat merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Think Before You Click.

Share this post

Sign in to leave a comment