www.tribratanews.com - Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 suporter Arema Malang menjadi cerita kelam sepakbola Indonesia.
Kejadian yang terjadi pada malam hari 1 Oktober lalu, usai partai derby antara tuan rumah Arema Malang melawan Persebaya Surabaya membuka banyak kelemahan dalam wajah persepakbolaan nasional.
Meski dikemas dan dibranding dengan embel-embel profesional, ternyata masih banyak kekurangan di sana-sini. Sehingga lebih layak dikatakan sebagai profesinalisme semu.
Salah satu bukti belum profesionalnya sepakbola Indonesia adalah masih bergantungnya sebuah klub sepakbola profesional di Indonesia dengan donasi pemilik atau petinggi klubnya. Artinya penghasilan dari tiket masuk, sponsor, merchandise maupun hak siar, belum mampu menutupi pengeluaran klub seperti gaji, bonus operasional latihan, transportasi dan akomodasi klub selama kompetisi maupun pengeluaran rutin klub lainnya.
Alhasil pemilik klub yang sering tekor masih suka kongkalingkong untuk mencetak tiket lebih banyak kapasitas pada partai-partai seru, sekedar untuk menambah jumlah pemasukan klub.
Pakar komunikasi, Rahnat Edi Irawan berharap Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum perbaikan sepakbola Indonesia secara keseluruhan. "Semua stakeholder sepakbola nasional harus mengukur dan tahu kemampuan diri sendiri. Nggak perlu jor-joran dalam pengelolaan klub, padahal kemampuan klub mendapatkan pemasukan juga masih minim", ungkapnya.
(bg/hn/um)