Tribratanews.tribratanews.com - Kasus kelangkaan minyak goreng, memasuki babak baru. Jika sebelumnya kasus ini lebih banyak berada di ranah ekonomi, karena buruknya koordinasi dan distribusi stake holder minyak goreng di Indonesia, saat ini luapan kasus ini juga sudah masuk ke ranah politik.
Banyak aktor politilk tampil memainkan dramaturgi dalam kisah tak berujung, di seputar polemik ketersediaan minyak goreng di pasaran.
Issu-issu kelangkaan minyak goreng saat ini sudah menjadi perang tagar dan perang issu para politisi dan partai politik. Mereka saling menuding lawan-lawan politiknya, dan menampilkan diri mereka bak malaikat, yang membagi-bagikan minyak goreng murah ke masyarakat. Ibarat maling teriak maling, dalam sekelabat banyak politisi yang tiba-tiba menjadi pahlawan kesiangan dalam aksi menjual minyak goreng murah.
Kondisi itulah yang dalam teori komunikasi disebut sebagai dramaturgi. Menurut pakar komunikasi massa, Rahmat Edi irawan, dramaturgi adalah panggung yang dibangun para politisi, berupa panggung depan dan panggung belakang. Pada panggung depan, mereka berjuang seolah-olah mereka sangat memperhatikan nasib rakyat akibat kelangkaan minyak goreng.
Padahal di panggung belakang, justru merekalah yang saling berebutan dan mendapat keuntungan dari ruwetnya masalah kelangkaan minyak goreng ini. Mereka berharap meraih simpati, walau cara belakang mereka bisa jadi jauh dari empati.