Tribratanews.tribratanews.com - Jakarta. Kementerian Kesehatan berharap publik memanfaatkan program skrining ulang tahun, yang diluncurkan pada 2025, untuk mendeteksi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), guna penanganan yang lebih efektif.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa prevalensi asma dan PPOK di Indonesia sebanyak 29,6 juta untuk asma, dan 16 juta untuk PPOK.
Sebab, gejala PPOK dan asma mirip, yakni sesak nafas dan penderitanya paling banyak adalah laki-laki, baik PPOK maupun asma.
"Pada penyakit tidak menular, terdapat tiga faktor, yakni keturunan, lingkungan, dan perilaku. Adapun pada PPOK, dua faktor risiko terbesar yang sangat memengaruhi, yakni pajanan atau paparan terhadap polutan dalam pekerjaan serta perilaku, terutama merokok," ungkap Direktur Siti Nadia, Rabu (20/11/24).
Direktur Siti Nadia menyebut, jika dilihat dari bidang pekerjaannya, banyak penderita yang ada bekerja untuk pengadaan listrik, gas uap air panas, dan udara dingin, kemudian pertambangan dan penggalian, konstruksi, dan industri pengolahan.
Penyakit tersebut dapat muncul 10-20 tahun kemudian atau saat lansia, sehingga pencegahan sedari dini penting. Oleh karena itu, pihaknya melakukan upaya pencegahan seperti melalui edukasi, kebijakan, serta deteksi dini.
Adapun upaya edukasi, kerja sama Kemenkes dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menampilkan indeks kualitas udara. Selain itu, memberi edukasi dan informasi tentang publik tentang kondisi udara, sehingga dapat menyesuaikan aktivitasnya di luar.
"Pemerintah menganjurkan kebijakan udara bersih, mendorong penggunaan transportasi yang ramah lingkungan, penggunaan mobil listrik, peningkatan ruang hijau, dan sebagainya. Jadi, termasuk juga kebijakan untuk WFO dan WFH, itu bisa juga menjadi salah satu pertimbangan untuk kita mengurangi keterpaparan terhadap polusi udara," jelas Direktur Siti Nadia.
(ndt/hn/nm)